Langsung ke konten utama

RM. Sunardi Suryodiprojo (03 Apr 1914 - 05 Jun 1985)


Pencak Silat: Artikel Tokoh Silat Raden Mas Sunardi Suryodiprojo

Artikel tentang RM. Sunardi (Romo Nardi atau Den mas Nardi) "BAGAIMANA MENJADI SAKTI DI JAMAN MODERN"
di Berita Nasional Mingguan No: 9 Minggu ke 1, bulan Juni 1974

"Di perguruan 'Tunggal Hati', yang dipimpin oleh RM Sunardi (64 th) hanya ada 3 tingkat. Sedang 'Merpati Putih', yang dipimpin oleh Purwoto HP yang pernah menjadi murid RM Sunardi, mengenal 6 tingkat." 
 
RM. Sunardi Suryodiprojo (03 Apr 1914 - 05 Jun 1985), atau yang lebih dikenal dengan Romo Nardi dan Den Mas Nardi, adalah salah satu putra bekel Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, dan tokoh silat tradisional di daerah Yogyakarta. Beliau mulai memasuki dunia Silat pada saat telah menyerap ilmu "Reti Ati" tepatnya pada tahun 1927. Den Mas Nardi (RM Sunardi Suryodiprojo) bersama Den Pono (R. Mangkupujono) dan R. Murkilat Sidik menimba ilmu tersebut, berguru pada R. Djayusman di kampung Pajeksan untuk mendalami serta menyerap ilmu Reti Ati tersebut. 
 
Raden Mas Sunardi Suryodiprojo
Raden Mas Sunardi Suryodiprojo
 
Silsilah keluarga Raden Mas Sunardi Suryodiprojo
Silsilah keluarga Raden Mas Sunardi Suryodiprojo

RM. Rudolf Sunardi Suryodiprojo atau Den Mas Nardi adalah seorang putra bekel Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang lahir di Ngasem, Yogyakarta pada 3 April 1914. Ketertarikan beliau pada beladiri disebabkan oleh kondisi sosial di kota Yogyakarta khususnya pada masa penjajahan. Selain tertarik pada beladiri, beliau juga mahir dalam tari tradisional Kasultanan Yogyakarta, bahkan pada saat menari inilah beliau berkesempatan untuk bertemu istri keduanya. Romo Nardi muda mulai berlatih beladiri keluarga dan kerabat keraton untuk menjaga diri dan juga orang yang dicintainya, lalu kemampuan tersebut dilengkapi pula dengan berguru ke beberapa pini sepuh di lingkungan Keraton Ngayogyakarta dan juga khususnya kepada R. Djayusman di Pajeksan, hal tersebut terbukti dengan caranya mendapatkan istri pertamanya. Pada saat itu, terdapat seorang lurah di daerah Sleman, Yogyakarta, yang mempunyai seorang putri berparas cantik yang bernama Siti Surtinah. Putri lurah tersebut sering diganggu oleh "ngoho-ngoho" atau preman yang cukup disegani. Lurah tersebutpun mengadakan sayembara bagi siapa saja yang dapat mengalahkan preman-preman tersebut, maka akan dinikahkan oleh putrinya tersebut. Dengan berbekal bela diri dan juga untuk menguji kemampuannya, maka Romo Nardi pun mengikuti sayembara tersebut dengan pergi ke Sleman yang berujung dengan kemenangan dan dinikahkan oleh putri lurah tersebut. Pada pernikahan pertama ini Romo Nardi dikaruniahi seorang putra bernama R. Hadi Suryanto (Mas Yanto). Pernikahan kedua Romo Nardi terjadi setelah meninggalnya mendiang istri pertamanya. 
 
Pertemuan Romo Nardi dengan istri keduanya, bernama R.Ay. Wening Suryodiprodjo, terjadi pada saat Romo Nardi menampilkan tari Keraton Yogyakarta. Setelah pertemuan tersebut terjalin sebuah hubungan yang baik sampai saatnya menikah dan dikaruniai 4 orang anak, 2 Putra dan 2 Putri, diantaranya R. Guntur Merdeka, Rr. Widodo Sri Rahayu, Rr. Siti Achadiyah, dan R. Brigadir Nugroho Atmodjo.

Tahun 1927
Pada tahun 1927, Indonesia masih diselimuti suatu hukum "Homo-Humini Lupus" yang berarti siapa yang kuat, dialah yang menang. Seorang pemuda remaja bernama RM Sunardi Suryodiprojo atau Romo Nardi merasa pada masa itu sangatlah tidak adil dan tidak aman, maka ia merasa perlu untuk turut membengkas, menanggulangi dan melindungi kaum yang lemah. Meskipun digebu oleh keadaan dan dalam jiwanya tersirat untuk menghapuskan hukum rimba yang berlaku menuju suatu masyarakat yang adil dan aman, Romo Nardi masih merasa dirinya belum cukup bekal ilmu. Dan jika berlatih serta mengembangkan cara untuk mempertahankan diri tanpa bimbingan dari orang yang telah mampu dan berpengalaman adalah suatu kesulitan. Hal ini lah yang mendorong Den Mas Nardi untuk mencari bimbingan lain untuk menyempurnakan keahlian Pencak dan Batinnya. Kebetulan pada masa itu terdapat juga sahabat lain yang mempunyai tujuan dan niat yang sama yaitu R Mangkupujono (Den Pono) dan R. Murkilat Sidik


Raden Mas Sunardi Suryodiprojo bersama Raden Mangkupujono
Raden Mas Sunardi Suryodiprojo (Kanan) bersama Raden Mangkupujono (Tengah)

Ketiga orang tersebut bersepakat untuk berguru pada R. Djayusman di Kampung Pajeksan, seorang tokoh pencak yang tampaknya sederhana namun mumpuni dalam mengolah kanuragan, serta tulus tanpa mengharapkan sesuatu apapun dari para muridnya. Mereka berlatih dasar pengertian ilmu "RETI ATI" secara intens, konsisten dan dalam kurun waktu yang tidak sebentar kepada R. Djayusman.

Bertahun terlewati, tibalah waktu pengamalan bagi murid - muridnya, dengan pesan dari R. Djayusman: "Setelah kamu sekalian menerima apa yang aku berikan, sebaiknya kamu bertiga juga harus mengembangluaskan kepada siapapun yang mau dan berminat dengan didasari keluhuran budi untuk membela sesama yang lebih lemah". Dari R. Djayusman lah Romo Nardi mendapatkan olah kanuragan dan bimbingan rohani atas dasar pengertian Ilmu "RETI ATI" yang kelak disempurnakannya dengan digabungkan bersama pengalaman dan juga keahlian yang telah ia miliki sebelumnya.

Den mas Nardi serta Den Pono, dua dari ketiga murid dari R. Djayusman di, demi mengemban tugas serta menghormati pesan seorang guru tergugah hatinya dan bersepakat untuk mendirikan perguruan bela diri disamping untuk mengembangkan kemampuan diri, juga untuk menggalang para remaja agar bersatu dengan tujuan utama berusaha untuk melawan para penjajah, maka berdirilah perguruan dengan nama PH (Persatuan Hati) yang dalam bahasa Jawa berarti “manunggaling ati atau manunggaling karep” atau kemauan yang sama dan sejalan. Tepatnya pada tahun 1930 perguruan PH ini berdiri, dengan susunan pengurus yang sangat sederhana, Ketua : Den Pono dan Wakil : Den mas Nardi. Setelah berdirinya PH, perkembangan persilatan pun timbul dengan pesat dengan banyaknya perguruan lain yang berdiri.

Dalam menempa dirinya, Romo Nardi pun sering meminta petunjuk kepada para sesepuh  yang lebih berpengalaman (Sowan) ke beberapa tokoh seperti: R. Martoyuwono, R. Sukirman, RM Harimurti (Ndoro Harimurti). Romo Nardi juga berkesempatan untuk melatih di Nosvia - Magelang pada tahun 1940 hingga waktu yang cukup lama.


BATALYON PESILAT : Memang Pernah Terbentuk di Yogyakarta
Kedaulatan Rakyat edisi Kamis Pon, 7 Mei 1981

Pada saat itu, tepatnya masa penjajahan Jepang, adalah masa-masa penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Disaat itu juga, ada Sembilan pemuda yang mahir pencak tergerak hatinya untuk mendirikan perkumpulan dengan nama GAPEMA (Gabungan Pencak Mataram) dengan tujuan melawan penjajah yang menghuni Tanah Air Indonesia yang dicintainya. Kesembilan remaja tersebut adalah:
  1. Bp. Broto Sutaryo dari perguruan BIMA
  2. Bp. Ki Muh Jumali dari Persatuan Pencak Taman Siswa
  3. Bp. Harimurti (ndoro Harimurti) Tedjokusuman dari perguruan Krisnamurti
  4. Bp. Abdullah dari PK (Pencak Kesehatan)
  5. Bp. R. Sukirman dari RKB (Rahasia Kekuatan Badan)
  6. Bp. Alip Purwowarsono dari Perguruan SHO (Setia Hati Organisasi)
  7. Bp. Suwarno dari perguruan SHT (Setia Hati Terate)
  8. Bp. R. Mangkupujono (Den Pono) dari perguruan PH (Persatuan Hati)
  9. Bp. RM. Sunardi Suryodiprojo (Den Mas Nardi) dari perguruan TH (Tunggal Hati) yang sekarang menjadi perguruan RA (Reti Ati)
Baca juga: Gabungan Pencak Mataram - Batalion Pesilat

Perguruan Pencak Silat Tunggal Hati 

Dengan berjalannya waktu, Den mas Nardi berperakarsa untuk mengembangkan tata bela diri Pencak Silat agar jangan sampai susut ataupun punah dengan mendirikan perguruan baru dengan seijin Den Pono dengan nama TH (Tunggal Hati) yang dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan PH (Persatuan Hati) yaitu “manunggaling ati atau manunggaling karep” atau kemauan yang sama dan sejalan. Dengan berdirinya perguruan TH ini 'bukan berarti terjadinya perpatahan' di tubuh perguruan Persatuan Hati, 'namun lebih tepatnya bermultiplikasi'. Perguruan Tunggal Hati ini berdiri pada tanggal 11 Juli 1951, keanggotaannya dibagi menjadi dua:
  1. Anggota TH untuk para dewasa
  2. Anggota THa untuk anak-anak di bawah umur 12 tahun.
Pada masa itu, Den Mas Nardi yang lebih dikenal dengan panggilan Romo Nardi sedang menjabat juga di IPSI DIY sebagai bagian tekhnik. Beliau berkesempatan melatih di beberapa instansi militer seperti: 
    - Kodim Yogyakarta, 
    - AURI Adi Sucipto
    - BRIMOB
    - Polisi
    - CPM
    - serta Polisi Perintis di wilayah Yogyakarta serta menyebar luas sampai Ponorogo.

Buku Peladjaran Pentjak Silat Guna Membela Diri Tingkat II

Di kalangan teman-teman PH, Romo Nardi sering diceritakan sebagai pendekar yang menguasai ilmu pernapasan tingkat tinggi. Ketika muda, beliau diceritakan pernah mematahkan tiang gawang sepak bola dengan sekali pukul, padahal ketika itu tiang gawang dibuat dari kayu yang sangat kuat. Romo Nardi adalah seorang pendekar silat yang memang terkenal dengan kesaktiaannya yang luar biasa. Mendengar kesaktian Romo Nardi, ada seorang ahli silat dan ahli dalam olah batin bernama Ki Syuhadak, pini sepuh di Piyungan, datang ke Brontokusuman menemui Romo Nardi dengan maksud ingin mencoba ilmunya Romo Nardi dengan cara yang unik, hanya tidur berdampingan semalam, Ki Syuhadak mengakui bahwa Romo Nardi betul-betul mempunyai ilmu yang tinggi dan mulai saat itu pula, Romo Nardi dianggap bukan hanya sebagai sahabatnya namun lebih daripada itu sebagai saudaranya. Edwin H. Abdullah pun di alamat:
 http://www.kpsnusantara.com/reflect/malay/Pembentukan%20Perguruan%20Silat%20(Kumpulan).html, mengatakan, "Ahli untuk penghancuran benda keras yang paling terkenal ya, mendiang Romo Nardi. 

Perguruan Tunggal Hati dibawah asuhan Romo Nardi pada saat itu telah melahirkan beberapa pendekar, diantaranya:
  1. Bp. Drs. Subandi
  2. Bp. NH. Soedirjo
  3. Bp. R. Hadi Suryanto
Namun sejak tahun 1957, perguruan TH mengalami kemunduran, tidak ada lagi kegiatan apapun. Kesemuanya itu dikarenakan beberapa pengurusnya terpaksa berpindah jauh untuk memenuhi kewajiban sebagai guru atau ada tugas lainnya demi hidup keluarganya dan tugas tersebut tidak mungkin dirangkap lagi di perguruan. Melihat perguruan TH yang terbengkalai atau tak terurus, R. Hadi Suryanto (lebih dikenal sebagai Mas Yanto) tegelitik hatinya untuk mencoba membangun serta membangkitkan kembali dengan mendirikan perguruan TH periode ke-2. Maka berdirilah perguruan TH periode ke-2 ini pada pertengahan februari 1962 dibawah asuhan mas yanto dengan bimbingan ayahandanya, Romo Nardi.

Di samping mendapatkan bimbingan dari Romo Nardi, berupa ilmu pernapasan seperti halnya pernapasan penyerapan tenaga banyu, geni, angin melalui beberapa tahap jenis pernapasan, juga tentang pernapasan matahari, stroom dan pernapasan khusus, serta pengenalan atas pemomong diri kita, “sedulur papat limo pancer”. Sedulur papat limo pancer ini merupakan saudara kita yang selalu berkenan membantu kita dalam segala hal jika kita mau memeteri nya. Bopo Angkoso, Ibu Pertiwi, Kakang Kawah, Adi Ari-ari, Sedulur Kang krumat lan Sedulur Kang urakrumat, yang mana kita juga harus selalu ingat terhadap siapa kita harus menyembah, dari mana kita berasal, serta ada dimana kita ini berpijak. Mas yanto sebagai pelatih utama pada saat itu, juga mendapat tuntunan dan bimbingan dari para sesepuh persilatan diantaranya:
  1. Den Pono dari PH
  2. Bp. Sugiman (pak Giman) dari PH
  3. Bp. Ki Syuhadak (seorang pini sepuh di Piyungan) di samping ahli silat juga ahli olah batin
Dari semua pelajaran yang diterima dari para sesepuh tersebut serta dari ayahandanya, kemudian disaring dan diambil maknanya yang akhirnya dengan segala usaha dan ketekunannya dapat ditemukan suatu cara pengumpulan tenaga yang dibangkitkan dari kemampuan pada diri kita sendiri masing-masing yang hanya dilandasi rasa keheningan serta kehendak yang mantap dan kemampuan daya pikir untuk memerintahkan tersalurnya tenaga inti tubuh ke tempat bagian tubuh yang kita kehendaki. Dan dari persamaan gerak, tenaga inti dan pikiran, begitulah terciptanya suatu tenaga yang mampu untuk mematahkan benda keras. Pada masa itu, hampir semua perguruan belum mengenal bagaimana cara untuk melakukan suatu cara untuk mematahkan/memecahkan benda keras dengan tangan kosong. Semua perguruan hanya khusus mempelajari olah bela diri, berdasarkan tenaga wadag, belum mengenal istilah karate. Demonstrasi pemecahan benda keras yang pertama kali dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana oleh mas Yanto di halaman rumah Brontokusumas, bertepatan dengan selamatan berdirinya TH periode ke-2. Di perguruan TH periode ke-2 ini, telah lahir pendekar muda pada saat itu, seperti:
  1. R. Sukomartoyo (mas Suko) THS-THM
  2. Purwoto (mas Pung) MP
  3. Budi Santoso (mas Budi) MP
  4. R. Guntur Merdeka (mas Guntur) RA
Bersamaan dengan bergulirnya waktu, perguruan TH periode ke-2 inipun telah bermultiplikasi (berkembang menjadi) dengan berdirinya perguruan seperti:
  1. TH Merpati Putih pada tahun 1963
  2. RA (Reti Ati) pada tahun 1977
  3. THS – THM (Tunggal Hati Seminari – Tunggal Hati Maria) pada tahun 1985


Perguruan Pencak Silat RETI ATI

Begitu melihat TH periode ke-2 cukup lama padam, tidak ada kegiatan lagi, R. Guntur Merdeka tergerak hatinya untuk menghidupkan kembali kegiatan seni bela diri pencak silat warisan budaya bangsa Indonesia ini. Mas Guntur bersama adiknya Mas Nugroho (R. Brigadir Nugroho Atmojo) berinisiatif mengajak para pemuda Brontokusuman berlatih pencak silat, ternyata ajakan tersebut disambut baik bahkan mereka sangat antusias. Maka pada awal tahun 1977 datanglah beberapa pendekar ke rumah Mas Yanto di Sleman, mereka adalah:

    1. R. Guntur Merdeka Tingkat Pendekar

    2. R. Sukodanarto tingkat Pendekar Muda

    3. R. Brigadir Nugroho Atmojo tingkat Pendekar Muda

    4. Dan disertai beberapa pesilat lainnya, 7 kader pelatih dan 3 pembantu pelatih

Dalam hal ini membicarakan kemungkinan dibenahi kembali persilatan yang sudah lama padam ini. Dan setelah diketemukan kesepakatan, maka direncanakan untuk mendirikan perguruan pencak silat lagi. Rencana tersebut mendapat restu dari romo Nardi, bahkan romo Nardi telah memutuskan bahwa jabatan pelatih utama di dalam tugasnya sebagai guru di perguruan diberikan kepada Mas Guntur sebagai pewaris tunggal perguruan yang telah dinilai mampu serta dipercaya oleh beliau untuk mengelolanya. Pada saat itu, berkumpul lah para pendekar dan para pini sepuh perguruan dan setelah diadakan persepakatan, maka didirikannya suatu Organisasi Perguruan Pencak Silat dengan nama "RETI ATI", tepatnya pada tanggal 21 Mei 1977. Berdirinya perguruan tersebut hanya dibuka dengan acara tumpengan yang sangat sederhana di kediaman Romo Nardi di Brontokusuman, Yogyakarta.

Sebagai acara pokok adalah pemotongan tumpeng serta penyerahan baju perguruan dari Romo Nardi kepada pelatih utama R. Guntur Merdeka untuk menjalankan tugas sebagai guru di perguruan pencak silat Reti Ati, dilengkapi dengan surat pengangkatan beserta surat mandatnya yang dihadiri dan disaksikan oleh para pini sepuh perguruan. Pada kesempatan itu pula, Romo Nardi telah memberikan jabatan wakil pelatih utama kepada R. Brigadir Nugroho Atmojo, adik dari Mas Guntur, untuk menjalankan tugas membantu semua tugas-tugas guru/pelatih utama di perguruan pencak silat Reti Ati yang dilengkapi pula dengan surat pengangkatan beserta surat mandatnya.

 

Sumber:

   -  Berita Nasional Mingguan No: 9 Minggu ke 1, bulan Juni 1974 "BAGAIMANA MENJADI SAKTI DI JAMAN MODERN"

    -  Biografi RM. Sunardi Suryodiprojo dalam Buku Besar RETI ATI cetakan 16 Maret 1983

    -  Edwin H Abdullah:
       http://www.kpsnusantara.com/reflect/malay/Pembentukan%20Perguruan%20Silat%20(Kumpulan).html



Postingan populer dari blog ini

Keunikan Senjata Trisula Pencak Silat

Salah satu senjata yang digunakan dalam seni bela diri Pencak Silat ini adalah Trisula atau Cabang (Indonesia), Tekpi (Malaysia), atau dapat disebut juga Sai bagi para praktisi bela diri Jepang. Trisula atau Cabang ini diyakini berasal dari Indonesia, dengan bukti yang ditemukan pada era Kerajaan Sriwijaya. Senjata Trisula atau Cabang ini adalah senjata yang cukup unik dikarenakan memiliki 3 bilah dan terdiri dari 2 bilah pendek dan satu bilah yang lebih panjang, yang diyakini sebagai senjata yang efektif untuk melawan senjata – senjata panjang seperti pedang maupun tongkat. Senjata ini juga berhubungan erat dengan budaya dari India yang tersebar di beberapa daerah di Asia Tenggara. Senjata ini juga banyak dipakai sebagai lambang sebuah perguruan pencak silat di Indonesia, maupun lambang IPSI sebagai organisasi Pencak Silat yang menaungi berbagai perguruan pencak silat di Indonesia.  Pemajangan Senjata Trisula di Keraton Surakarta Penggunaan senjata Trisula ini pada masa

Tingkatan Perguruan Pencak Silat RETI ATI

  Dalam Perguruan Pencak Silat "RETI ATI" terdapat 10 tingkatan dengan nama tingkatan dan warna strip yang berbeda - beda, diantaranya: Tingkat I (Tingkat Calon Siswa) Warna Strip: Strip 2 Hitam Tingkat II (Tingkat Siswa Muda) Warna Strip: Strip 2 Coklat Tingkat III (Tingkat Siswa Madya) Warna Strip: Strip 2 Biru Tingkat IV (Tingkat Siswa) Warna Strip: Strip 2 Hijau Tingkat V (Tingkat Calon Pembantu Pelatih) Warna Strip: Strip 2 Kuning Tingkat VI (Tingkat Pembantu Pelatih) Warna Strip: Strip 2 Perak Tingkat VII (Tingkat Kader Pelatih) Warna Strip: Strip 3 Perak Tingkat VIII (Tingkat Pendekar Muda) Warna Strip: Strip 2 Emas Tingkat IX (Tingkat Pendekar) Warna Strip: Strip 3 Emas Tingkat X (Tingkat Pendekar Besar) Warna Strip: Strip Blok Emas Catatan: Untuk tingkat ini hanya diperoleh Guru Besar Perguruan Pencak Silat "RETI ATI"